This pict i took about 2 weeks ago on the way home, some local funfair near my place at about 8 p.m
Beberapa waktu yang lalu, saya rasan-rasan ingin sekali menulis (di blog) dengan menggunakan bahasa Indonesia, kemudian (sesuai tipikal saya), jadilah posting ini berbahasa Indonesia, karena secara kebetulan ini adalah posting pertama setelah saya memikirkan menulis di blog menggunakan bahasa Indonesia.
(Oh,okay,well,yeah *seka keringat* karena ini jadi terasa seperti ujian kelas Bahasa Indonesia saat SMA)
Anyway *pardon kegado-gadoan bahasa saya*, saya termasuk manusia yang mempunyai ikatan emosional yang kuat terhadap sesuatu, sehingga saat melihat, mencium dan atau mendengar sesuatu yang sudah pernah dilihat, dicium dan atau didengar sebelumnya,contohnya :
kasus 1 : saat berpacaran dengan sebut saja A, saya menggunakan parfum B dan sering mendengarkan lagu C, maka saat saya tidak berhubungan dengan si A lagi, dan di kemudian hari saya mencium (lagi) bau parfum B atau mendengarkan (lagi) lagu C, emosi yang ada saat saya bersama A, akan terasa lagi dengan persis sama
kasus 2 : (tidak..cukup kasus 1 itu saja untuk memberikan contoh)
Tapi kemudian, semakin umur saya bertambah, saya rasa emosi akan memori itu sendiri pun bisa berubah, bahkan hal yang sama pun akan memberikan emosi yang berbeda seiring saya bertambah tua. Seperti saya yang tidak lagi nyaman dengan suasana mengendarai Beetle tua (tidak seperti saya yg berumur 19 thn); saya yang tidak lagi suka aroma pewangi mobil vanila (tidak seperti saya yg berumur 19 thn); saya yang tidak lagi suka mendengarkan lagu2 Cranberries (tidak seperti saya yg berumur 15 thn);saya yang tidak lagi suka hujan (tidak seperti saya yg berumur 5 s/d 20 thn).
Nah..kemudian hubungan itu semua dengan Bianglala di Pasar Malam ini adalah bahwasanya si Bianglala atau Ferris Wheel ini adalah salah satu dari sedikit hal yang memberi efek emosional yang tidak berubah sampai dengan sekarang. Baik berumur 5,7,11,13,17,19,23...emosi yang ada saat saya melihat bianglala selalu sama : terintimidasi sekaligus excited dengan euphoria lampu dan kinetika.
Sesampainya saya di rumah, sambil memilah-milah file foto, saya berpikir : di samping kebutuhan untuk dinamis dan bereformasi, manusia memang memerlukan sesuatu yang diam dan statis, untuk alasan apapun.